HAL –
HAL YANG MAKRUH DALAM WUDHU’
Makruh adalah sesuatu
yang diminta oleh syari’ untuk ditinggalkan dengan permintaan yang tidak harus.
Apabila hal itu ditinggalkan oleh seorang mukallaf maka ia mendapat pahala dan
apabila dikerjakan maka ia tidak mendapat siksa.
Adapun Hal – hal yang makruh dalam wudhu’, antara lain :
1.
Berlebih
– lebihan dalam menggunakan air
Selain air yang mauquf (diwaqafkan untuk bersama) maka dalam hal ini berlebih –
lebihan hukumnya adalah haram, dengan syarat air tersebut tidak terdapat
dikolam atau di bak tempat wudhu’, maka yang demikian tidaklah haram, karena
air tersebut dapat kembali lagi kedalam kolam bak air itu.Akan tetapi hukumnya
makruh saja.
2.
Berbicara
ketika sedang malakukan wudhu’
3.
Berlebih
– lebihan dalam berkumur – kumur bagi orang yang berpuasa, atau ber – istinsyak
4.
Berwudhu’
ditempat yang mutanajjis
5.
Mengusap
anggota wudhu’ lebih dari tiga kali
HAL –
HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’
Batal Yaitu
Tidak cukup syarat dan rukunnya atau salah. Jadi apabila sesuatu pekerjaan atau
perkara tidak memenuhi syarat dan rukunnya maka perkara itu tidak sah atau
batal.
Hal yang dapat membatalkan wudhu’ dibagi
menjadi 2 bagian :
Pertama : Sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu
Qubul dan dubur .Hal ini dibagi lagi
menjadi 2,yaitu :
1.
Sesuatu
yang biasa keluar
Sesuatu yang biasa keluar dari salah satu dua
jalan yaitu qubul dan dubur, ada yang membatalkan wudhu’ saja dan ada yang
mewajibkan mandi. Adapun yang hanya membatalkan wudhu’ dan tidak mewajibkan
mandi adalah kencing, madzi dan wadi.
Air madzi adalah air kuning encer yang pada
ghalibnya / biasanya ia keluar dari kubul ketika ia merasakan nikmat. Air wadi
adalah air kental dan putih serupa dengan air mani ; umumnya ia keluar setelah kencing. Yang serupa dengan
air wadi adalah air hadi yaitu air
putih yang keluar dari qubul wanita hamil sebelum melahirkan dan air mani yang
keluar tanpa merasakan nikmat. Tidak dapat disangkal bahwa semua ini adalah
keluar dari qubul. Sedangkan Sesuatu
yang keluar dari dubur adalah tahi, dan kentut.
ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي
بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ
اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا ) أَخْرَجَهُ مُسْلِم
|
|
Artinya :
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu
merasakan sesuatu dalam perutnya kemudian dia ragu-ragu apakah dia mengeluarkan
sesuatu (kentut) atau tidak maka janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid
kecuali ia mendengar suara atau mencium baunya" Dikeluarkan oleh Muslim. ( Diambil dari kitab
bulughul maram )
2.
Sesuatu
yang keluar dari salah satu dua jalan dengan cara yang tidak biasa.
Sesuatu yang keluar dari salah satu dua
jalan dengan cara yang tidak biasa, seperti batu kerikil, ulat, darah, air
nanah yang tidak bercampur dengan darah dan air nanah yang bercampur dengan
darah. Ia dapat membatalkan wudhu’, baik ia keluar dari qubul maupun dubur.
Kedua : Sesuatu yang menyebabkan batalnya wudhu’
selain yang keluar dari salah satu
dua jalan. Hal ini dibagi menjadi 4, Yaitu :
1.
Hilang
Akal, Baik karena gila, ayan, mabuk, pingsan maupun tidur.
Tidur dapat membatalkan
wudhu’ bukan karena tidur itu sendiri melainkan karena terjadinya hadats yang
disebabkan karena tidur. Tidur itu dapat membatalkan wudhu’ jika pantatnya
tidak tetap diatas tanah atau lainnya, sekalipun dapat dipastikan tidak keluar hadats.
Tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila orang yang tidur itu tidak duduk
mantap diatas tempatnya, misalnya ia tidur sambil duduk atau sambil mengendarai
sesuatu tanpa ada renggang antara tempat duduk dan tempat menetapnya. Jika ia
tidur telentang atau miring; antara tempat duduknya dan tempat tetapnya itu ada
renggang, karena ia kurus, maka batallah wudhu’nya. Dan wudhu’ itu tidak batal
disebabkan karena ngantuk, yaitu rasa berat pada otak akan tetapi bersamaan
dengan itu pula masih dapat mendengar pembicaraan orang – orang yang ada
disekitarnya walaupun tidak dapat memahaminya.
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ
ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ
وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِم
|
|||||
Artinya :
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: pernah para
shahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada jamannya menunggu
waktu isya' sampai kepala mereka terangguk-angguk (karena kantuk) kemudian
mereka shalat dan tidak berwudlu Dikeluarkan oleh Abu Dawud shahih menurut
Daruquthni dan berasal dari riwayat Muslim.
( Diambil dari kitab
bulughul maram )
Artinya :
Menurut Riwayat Abu Dawud juga dari Ibnu Abbas Radliyallaahu
'anhu dengan hadits marfu': "Wudlu itu hanya wajib bagi orang-orang yang
tidur berbaring" Dalam sanadnya juga ada kelemahan. ( Diambil
dari kitab bulughul maram )
|
2.
Menyentuh
seseorang yang dapat mengundang syahwat, baik ia wanita atau laki – laki muda.
Menyentuh wanita bukan muhrim dapat
membatalkan wudhu’ secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun
laki – lakinya lemah tua dan wanitanya lemah tua juga dan tidak menarik
(berwajah jelek). Mungkin juga dikatakan bahwa persoalan seorang wanita tua
yang sudah lemah dan tidak menarik itu adalah tidak adanya rasa nikmat dengan
menyentuhnya. Selama wanita itu masih hidup maka tidak akan hilang darinya rasa
nikmat dengan menyentuhnya.
Dan sentuhan itu dapat membatalkan wudhu’ hanya
apabila antara kulit yang menyentuh dan kulit yang disentuh itu tidak ada batas
penghalang. Wudhu’ seseorang tidaklah batal dengan menyentuh seorang wanita
muhrim, yaitu wanita yang haram dinikahi untuk selama – lamanya karena ada
hubungan nasab (keturunan) atau susuan atau karena pernikahan. Sedangkan Wanita
– wanita yang tidak haram dinikahi selama – lamanya adalah seperti saudara
perempuan isteri (ipar perempuan), saudara perempuan dari pihak ayah isteri dan
saudara perempuan dari pihak ibu isteri (bibi isteri dari pihak ayah / ibu),
maka apabila menyentuh salah seorang dari mereka ini batallah wudhu’nya. Begitu
pula wudhu’ dapat batal dengan menyentuh
wanita yang disetubuhi dengan subhat dan anak perempuannya. Sekalipun menikahi
keduanya itu adalah haram untuk selama – lamanya akan tetapi haramnya itu bukan
disebabkan karena nasab, bukan karena susuan dan bukan pula karena perkawinan .
Seorang
laki – laki yang menyentuh laki – laki lain tidaklah batal wudhu’nya walaupun
laki – laki yang disentuh itu adalah seorang anak muda yang belum berjanggut
dan tampan, akan tetapi disunnatkan baginya untuk berwudhu’. Dan tidak batal
pula seorang wanita yang menyentuh sejenisnya, begitu pula seorang banci yang
menyentuh banci lainnya ataupun ia menyentuh seorang laki – laki atau seorang
wanita. Wudhu’nya tidaklah batal kecuali apabila yang menyentuh dan yang
disentuh itu sampai mencapai batas syahwat bagi mereka yang mempunyai tabi’at
(kejiwaan) yang sehat. Wudhu’ juga dapat batal apabila menyentuh mayat; akan
tetapi bagi orang yang memandikan mayyit, maka ia wajib mandi setelahnya.
Sabda Rasululloh SAW :
ِعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (
مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه وَقَالَ
أَحْمَدُ لَا يَصِحُّ فِي هَذَا اَلْبَابِ شَيْءٌ
|
|
Artinya :
Dari Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Barangsiapa yang memandikan mayyit hendaknya ia mandi dan
barangsiapa yang membawanya hendaknya ia berwudlu" Dikeluarkan oleh Ahmad
Nasa'i dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan sedang Ahmad berkata:
tak ada sesuatu yang shahih dalam bab ini. ( Diambil dari kitab bulughul maram )
3.
Menyentuh
Kemaluan (Dzakar) dengan tangan.
Menyentuh dzakar itu dapat membatalkan
wudhu’, baik terhadap dzakarnya sendiri maupun dzakar orang lain, walaupun yang
disentuh itu adalah dzakar anak kecil atau dzakar mayat. Yang batal wudhu’nya
adalah yang menyentuh, bukan yang disentu. Begitu pula bisa batal wudhu’ seorang wanita apabila ia menyentuh qubulnya,
sebagaimana juga batal wudhu’ seorang laki – laki yang menyentuhnya. Lingkaran
dubur itu adalah sama hukumnya dengan qubul wanita. Berbeda halnya dengan buah
pelir dan bulu dzakar, maka wudhu’ itu tidak batal dengan menyentuhnya. Memegang dzakar itu membatalkan wudhu’
berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW :
ِعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ
صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ: مَنْ
مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ ) أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ
وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّان َ وَقَالَ اَلْبُخَارِيُّ هُوَ
أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا اَلْبَابِ
|
|
Artinya :
Dari Busrah binti Shofwan Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menyentuh
kemaluannya maka hendaklah ia berwudlu" Dikeluarkan oleh Imam Lima dan
hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban Imam Bukhari menyatakan bahwa ia
adalah hadits yang paling shahih dalam bab ini.
( Diambil
dari kitab bulughul maram )
Namun ada sebagian
menganggap bahwa memegang dzakar itu tidak membatalkan wudhu’ berdasarkan
hadits nabi Muhammad SAW :
ِوَعَنْ طَلْقِ بْنِ
عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ
اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ؟
فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم "لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ
مِنْكَ ) أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان
وَقَالَ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ
|
|
Artinya ;
Thalq
Ibnu Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki berkata: saya menyentuh
kemaluanku atau ia berkata: seseorang laki-laki menyentuh kemaluannya pada
waktu shalat apakah ia wajib berwudlu؟ Nabi menjawab: "Tidak karena ia
hanya sepotong daging dari tubuhmu" Dikeluarkan oleh Imam Lima dan shahih
menurut Ibnu Hibban Ibnul Madiny berkata: Hadits ini lebih baik daripada hadits
Busrah. ( Diambil dari kitab
bulughul maram )
Wudhu’ tidak dapat batal
apabila menyentuh tempat potongan dzakar (tempat sunatannya), dengan syarat – syarat
berikut :
a.
Adanya
suatu penghalang
b.
Sentuhan
itu tidak dilakukan dengan menggunakan telapak tangan atau jemari tangan bagian
dalam.
Yang disebut dengan telapak tangan atau
jemari tangan bagian dalam adalah bagian yang tertutup disaat kedua tangan itu dirapatkan
dengan sedikit ditekan. Oleh sebab itu maka wudhu’ tersebut tidak batal dengan
menyentuh dzakar menggunakan bagian pinggir telapak tangannya atau dengan
menggunakan ujung jemarinya dan dengan menggunakan bagian yang terdapat antara
pinggir telapak tangan dan ujung jemari.
4.
Sesuatu
yang keluar dari badan manusia selain dari qubul dan dubur, seperti nanah yang
keluar dari bisul atau darah yang keluar karena sebab bisul itu, atau
disebabkan karena luka.
Wudhu’ juga bisa batal disebabkan karena murtad.
Apabila seseorang yang mempunyai wudhu; keluar dari islam, maka wudhu’nya
batal. Hal itu banyak terjadi pada orang – orang bodoh yang dikuasai oleh
perasaan sangat marah lalu mereka menghina agama dan berucap dengan kata – kata
yang dapat mengkafirkan tanpa sadar kemudian mereka menyesal setelahnya, maka
wudhu’ mereka batal bila mereka mempunyai wudhu’. Wudhu’ tidaklah batal
disebabkan karena tertawa dengan terbahak – bahak dalam sholat.
Wudhu’
juga tidak batal disebabkan karena ragu – ragu dalam hadats. Dalam hal itu
terdapat 2 bentuk :
Pertama : Ia
berwudhu’ dengan yakin, kemudian ia ragu apakah ia berhadats ataupun
tidak. Keraguan ini tidaklah membatalkan wudhu’nya,
karena ia ragu akan terjadinya hadats setelah melakukan wudhu’. Sedangkan keraguan
tidak dapat menghilangkan keyakinan tentang adanya thaharah.
Kedua
: Ia berwudhu’ dengan yakin dan berhadats
dengan yakin pula, akan tetapi ia
ragu apakah ia berwudhu’ sebelum hadats, maka
dalam hal ini wudhu’nya
batal
karena hadats atau ia berwudhu’ setelah hadats, maka dalam hal ini
wudhu’nya itu masih.
Dalam kasus semacam ini terdapat 2 hal :
1. Sebelum
itu ia ingat akan wudhu’ dan hadats yang diragukan itu, akan tetapi ia tidak
tahu mana diantara keduanya yang terjadi terlebih dahulu. Jika ingat bahwa ia
berhadats sebelum berwudhu’, maka ia dianggap mempunyai wudhu’ karena telah
tetap suatu keyakinan bahwa ia berwudhu’ setelah hadats pertama, dan ia ragu
apakah ia berhadats lagi atau tidak.
Contohnya
adalah, jika ada seorang berwudhu’ setelah sholat dzuhur dengan yakin, dan
berhadats dengan yakin, akan tetapi ia ragu apakah hadats yang membatalkan itu
terjadi terlebih dahulu, maka dalam hal ini maka wudhu’nya masih; atau ia
berwudhu’ terlebih dahulu, maka dalam hal ini maka wudhu’nya batal karena
hadats tersebut.
Dalam
hal ini hendaknya ia melihat terhadap apa yang ada pada dirinya sebelum sholat
dzuhur. Jika ia ingat bahwa ia berhadats sebelum sholat dzuhur, maka ia
dianggap Mutathahhir (suci dari
hadats) setelah dzuhur, karena ia meyakini hadats pertama itu terjadi setelah
dzuhur dan meyakini adanya wudhu’ yang ia lakukan setelah dzuhur; serta ragu
terhadap hadats kedua yang terjadi setelah dzuhur, apakah hadats itu terjadi
sebelum wudhu’ atau sesudahnya? Keraguan
tidaklah menghilangkan hadats tersebut, maka dengan demikian berarti ia masih
mempunyai wudhu’.
2. Ia
ingat bahwa ia berwudhu’ sebelum dzuhur, kemudian ia berwudhu’ lagi setelah
dzuhur dan berhadats.
Semua ini adalah apabila orang tersebut ragu setelah
wudhu’nya itu sempurna. Sedangkan apabila ia ragu disaat pertengahan wudhu’
tentang anggota wudhu’ yang disucikannya, maka ia wajib mengulangi mensucikan
anggota wudhu’ yang diragukan itu.
Posting Komentar