PEMBAGIAN
AIR
Air merupakan salah satu
alat yang digunakan untuk bersuci. Air yang dapat dipakai untuk bersuci dan air
yang tidak dapat dipakai untuk bersuci dapat dibagi menjadi 3 bagian :
Pertama :
Air suci dan mensucikan ( Thahur ).
Kedua :
Air suci tetapi tidak mensucikan ( Thahir ).
Ketiga :
Air Mutanajjis.
Bagian Pertama
AIR
SUCI DAN MENSUCIKAN
PENGERTIAN
Pengertian
dari air suci dan mensucikan adalah setiap air yang turun dari langit atau
keluar dari bumi dan ketiga sifatnya ( warna, rasa dan bau ) belum mengalami
perubahan yang disebabkan karena sesuatu yang dapat menghilangkan sifat
kesuciannya air tersebut dan bukan pula air bekas dipakai ( musta’mal ). Macam
– macam air yang suci dan mensucikan yang bias dipakai itu di antaranya :
1.
Air
hujan
2.
Air
sumur
3.
Air
laut
4.
Air
sungai
5.
Air
salju
6.
Air
telaga
7.
Air
embun
PERBEDAAN AIR SUCI DAN MENSUCIKAN DENGAN AIR SUCI TETAPI TIDAK
MENSUCIKAN
Perbedaan
antara air suci dan mensucikan dengan air suci namun tak bisa
mensucikan adalah bahwa air yang suci dan mensucikan itu dapat dipakai
dalam ibadah dan dalam hal – hal biasa. Maka boleh berwudhu dengan menggunakan
air tersebut dan mandi untuk mensucikan diri dari junub dan haid, sebagaimana
dapat juga digunakan untuk mensucikan sesuatu yang najis, dan dapat digunakan
untuk membersihkan badan dan pakaian dari kotoran – kotoran yang nampak.
Berbeda
halnya dengan air yang suci tetapi tidak mensucikan, maka ia tidak sah
digunakan untuk ibadah seperti wudhu, mandi junub dan sebagainya, sebagaimana
juga tidak sah digunakan untuk mensucikan yang najis. Akan tetapi ia hanya bisa
digunakan untuk hal – hal yang biasa,seperti minum, membersihkan badan dan
pakaian,untuk mengadon dan lain sebagainya.
HUKUM AIR SUCI DAN MENSUCIKAN
Adapun hukum air yang suci dan mensucikan dapat dibagi
menjadi 2 bagian :
Pertama : Dampak yang telah diatur oleh syari’
tentang air tersebut, bahwa ia dapat menghilangkan hadats kecil dan hadats
besar. Maka air itu sah untuk berwudhu, mandi junub dan haid,menghilangkan
najis yang dapat diindera dan lain sebagainya. Dan dengannya dapat melaksanakan
kewajiban – kewajiban fardhu dan sunnat serta amal perbuatan yang dapat
mendekatkan diri kepada Alloh, seperti mandi untuk melaksanakan sahalat jum’at,
shalat ied ( iedhul fitri dan iedhul adha ) serta bentuk ibadah lainnya. Begitu
pula ia dapat dipakai dalam hal – hal yang biasa, seperti untuk minum, masak,
mengadon, membersihkan pakaian dan badan, menyiram tanaman dan lain sebagainya.
Kedua :
Hukum memakainya. Yang dimaksud dengan hukum memakainya
adalah sesuatu yang dapat menyifati penggunaannya, seperti wajib dan haram.Dari
sudut penggunaan air itu mencakup hukum yang lima, yaitu wajib, haram, nadb(
sunnat ), mubah dan makruh.
Adapun yang wajib menggunakan air itu adalah dalam
melaksanakan kewajiban fardhu yang harus disertai dengan sucinya badan dari
hadats besar dan kecil,seperti sholat, dan suatu kewajiban itu dapat menjadi
luas apabila waktunya luas dan menjadi sempit apabila waktunya sempit.
Beberapa air yang suci
dan mensucikan akan tetapi haram untuk digunakan, diantaranya :
1. Bila
air itu menjadi milik orang lain sedangkan orang itu tidak mengizinkan untuk menggunakannya.
2.
Bila
air itu dialirkan untuk kepentingan minum, maka air yang terdapat pada tempat
aliran yang khusus untuk minum adalah haram dipakai untuk berwudhu.
3.
Pemakaian
air yang dapat mengakibatkan adanya bahaya, seperti apabila berwudhu atau mandi
dengan air itu menyebabkan orang menjadi sakit atau bertambah sakit.
4. Apabila
air tersebut sangat panas atau dingin dan dapat mendatangkan bahaya dengan
memakainya.
5. Menggunakan
air pada waktu ada binatang yang haus yang tidak boleh dibunuh / dimatikan
menurut syara’.
menurut syara’.
6.
Memakai
air hasil dari mencuri.
Beberapa air yang suci
dan mensucikan akan tetapi makruh untuk digunakan, diantaranya :
1.
Air
yang sangat panas atau yang sangat dingin yang tidak sampai membahayakan badan.
Alasan dimakruhkannya karena dalam hal ini dapat menghilangkan kekhusyu’an
orang yang berwudhu’ terhadap Alloh dan membuatnya repot dengan pedihnya panas
atau dingin, dan mungkin ia bisa tergesa – gesa dalam berwudhu’ atau mandi sehingga ia tidak dapat
melaksanakan hal itu sebagaimana mestinya.
2.
Air
yang terkena panas matahari. Air itu makruh digunakan dalam berwudhu’ dan mandi
dengan dua syarat :
a. Air
itu diletakkan pada sebuah bejana yang terbuat dari tembaga atau timah atau
barang tambang lainnya kecuali emas
dan perak. Sedangkan air yang diletakkan dalam sebuah bejana yang
terbuat dari emas dan perak, maka bila air itu dipanaskan apada sinar matahari
tidaklah dimakruhkan berwudhu’ dengannya.
b.
Air
itu terdapat dinegeri yang panas. Bila meletakkan air mutlak dalam sebuah bejana
yang terbuat dari tembaga atau bejana besar yang terbuat dari bambu, atau
periuk besar yang terbuat dari tembaga kemudian diletakkan dibawah sinar
matahari sehingga ia menjadi panas, maka dimakruhkan berwudhu’ atau mandi
menggunakan air tersebut, sebagaimana dimakruhkan untuk mencuci pakaian dengan
air tersebut, sebagaimana dimakruhkan untuk mencuci pakaian dengan air itu atau
menggunakannya pada bedan secara langsung sedangkan badan itu dalam keadaan
basah. Alasan makruhnya penggunaan air tersebut dalam bentuk seperti ini karena
dapat membahayakan pada badan. Yang demikian itu adalah alas an yang tidak
tampak, karena apabila bahayanya itu tampak jelas, maka niscaya hokum
menggunakannya itu adalah haram, bukan makruh lagi. Ternyata bahaya itu memang
tidak akan tampak, kecuali apabila pada bejana itu terdapat karat atau lemak.
Sedangkan airnya dipakai dari dalam bejana tersebut. Apabila ia mendapatkan air
lainnya, maka menggunakan air tersebut hukumnya makruh ; dan jika tidak ada air
lain, maka tidak makruh. Demikian juga semua air yang dimakruhkan, maka
makruhnya air itu akan hilang disaat tidak ada air lainnya.
SESUATU YANG DAPAT MENGHILANGKAN
KESUCIANNYA AIR.
Yaitu
apabila air itu mengalami perubahan warna, rasa dan bau, maka ia hanya disebut
air yang suci namun tak bisa mensucikan. Akan tetapi kadang – kadang warna, rasa dan
bau air itu berubah namun tetap mensucikan dan sah digunakan dalam hal ibadah,
seperti wudhu’ mandi (wajib) dan sebagainya. Akan tetapi dengan syarat tidak
mendatangkan bahaya, yaitu apabila penggunaan air yang mengalami perubahan itu
dapat membahayakan bagi seseorang pada sebagian anggota badannya, maka tidak
dibolehkan baginya berwudhu’ dengan menggunakan air tersebut.
وَلِلْبَيْهَقِيِّ
الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ
بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيه
Artinya :
Menurut
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: "Air itu suci dan mensucikan
kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang
masuk di dalamnya."
( Diambil dari kitab
bulughul maram )
Para ahli piqh telah menyebutkan bahwa contoh tentang
perubahan yang tidak menghilangkan sifat kesuciannya air, antara lain :
Apabila seluruh atau sebagian dari sifat itu berubah disebabkan karena tempatnya atau tempat alirannya.
Apabila seluruh atau sebagian dari sifat itu berubah disebabkan karena tempatnya atau tempat alirannya.
2.
Air
yang berubah disebabkan karena lama tergenang. Misalnya apabila air tersebut
disimpan dalam sebuah tempayan sedangkan air tersebut tergenang lama, kemudian
ia berubah karena lamanya, maka perubahan itu tidaklah menghilangkan sifat kesuciannya.
3. Perubahan
air yang disebabkan karena sesuatu yang keluar dari ikan atau karena kerambang/lumut.Lumut
itu tidak merusak air, yaitu apabila lumut tersebut tidak dilemparkan
kedalamnya.
4. Perubahan
air yang disebabkan karena sesuatu yang dipakai untuk menyamak / melapisi
tempat air itu, seperti ter, plangkin, aspal atau semacam dedaunan untuk
menyamak. Maka air yang diletakkan dalam sebuah geribah yang dilapisi /
disamak, bila salah satu sifatnya berubah, maka air tersebut tidak rusak.
5.
Perubahan
air yang disebabkan karena sesuatu yang sulit untuk dihindari, seperti debu
yang dihembus angin jatuh kedalam sumur dan yang semacamnya seperti ranting dan
daun pohon.
6.
Perubahan
air yang disebabkan karena sesuatu yang ada disekitar air tersebut, seperti halnya
dengan meletakkan bangkai pada bagian tepi air itu, kemudian air itu berubah
berbau bangkai maka perubahan itu tidaklah menghilangkan sifat kesuciannya air.
Akan tetapi hal yang semacam itu tidak lain adalah perbuatan orang – orang
bodoh. Mereka lemparkan bangkai – bangkai itu ketepi air, bahkan sampai pada
air yang mereka pakai sendiri sehingga air tersebut menebarkan bau busuk yang
tercium dari jarak jauh. Tetapi sungguhpun demikian syar’i masih membolehkannya
dipakai untuk berwudhu’ dan mandi; dan disisi lain ia melarangnya dengan keras
untuk dipakai apabila dapat menimbulkan bahaya dan mendatangkan penyakit dan
yang semacamnya.
Bagian
Kedua
AIR
SUCI TETAPI TIDAK MENSUCIKAN
PENGERTIAN
Seperti
yang sudah dijelaskan tadi, bahwa air
yang suci tetapi tidak mensucikan, maka
ia tidak sah digunakan
untuk ibadah seperti wudhu, mandi junub dan sebagainya, sebagaimana juga tidak
sah digunakan untuk mensucikan yang najis. Akan tetapi ia hanya bisa digunakan
untuk hal – hal yang biasa,seperti minum, membersihkan badan dan pakaian,untuk
mengadon, mencuci dan lain sebagainya.
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ
طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيه
Artinya :
Menurut
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: "Air itu suci dan mensucikan
kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang
masuk di dalamnya."
( Diambil dari kitab
bulughul maram )
MACAM – MACAM AIR SUCI YANG TIDAK
MENSUCIKAN
Air suci yang tidak
mensucikan ada 3 macam :
1. Air
yang suci bercampur dengan sesuatu yang suci. Jika pada air yang mensucikan itu
dituangkan air mawar, umpamanya, atau air adonan,air the,air kopi ataupun
lainnya, maka yang demikian itu telah menghilangkan sifat kesuciannya air,
dimana setelah itu ia tidak sah digunakan untuk wudhu’ dan mandi wajib.Walaupun
ia boleh digunakan dalam hal – hal yang biasa seperti untuk minum dan
membersihkan pakaian.
Hal tersebut
tidaklah menghilangkan sifat kesuciannya air kecuali dengan 3 syarat :
Pertama
: Apabila salah satu dari ketiga sifat air itu
berubah, yaitu rasa, warna dan
baunya karena sesuatu yang mencampurinya. Dan perubahan itu benar –
benar diyakini. Apabila perubahan itu masih diragukan berarti air itu
tidak
rusak.
Kedua : Yang mencampurinya itu adalah sesuatu yang
dapat menghilangkan
sifat kesucian air. Apabila air tersebut berubah karena ditambah dengan
air lain, dimana air itu bisa habis kecuali dengan air tambahan tersebut;
atau air tadi berubah disebabkan oleh tempat sumber air itu maka
perubahan tersebut tidaklah merusak (tidak mengubah sifat kesuciannya
/ thahuriyahnya ) air.
Ketiga
: Perubahan
itu disebabkan karena tanah, jika ia sengaja dilemparkan
kedalamnya. Yang semisal dengan tanah adalah garam yang dibuat dari
air. Apabila air itu berubah disebabkan
sesuatu yang dibuang
kedalamnya selain apa yang telah
disebut tadi maka ia dapat
menghilangkan sifat kesuciannya air,
dan air itu sekedar suci saja ( tidak
mensucikan ).
2.
Air
yang sedikit yang musta’mal. Yang dimaksud dengan sedikit adalah air yang
kurang dari 2 kullah. 2 kullah itu = lebih kurang 216 liter air. Sedangkan pengertian musta’mal adalah air sedikit yang telah
digunakan untuk melakukan sesuatu yang mesti; baik bersifat hakiki maupun
formalitas ( shuri ) seperti hadats menurut pandangan orang yang
menggunakannya, atau menghilangkan kotoran. Singkatnya air musta’mal itu adalah
air bekas wudhu’.
3.
Air
yang keluar dari tumbuhan.Baik itu mengalir dengan cara sengaja dibuat, seperti
air mawar; atau air mengalir tanpa dibuat, seperti buah semangka.
Bagian
Ketiga
AIR
MUTANAJJIS
PENGERTIAN
Air mutanajjis adalah
air yang bercampur dengan najis. Air ini mempunyai 2 macam :
Pertama
: Air thahur (suci) yang banyak.
Air tersebut tidak menjadi najis disebabkan karena
bercampur dengan sesuatu yang najis,
kecuali apabila salah satu sifatnya yang tiga berubah, seperti warna, rasa dan
baunya.
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ
طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيه
Artinya :
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: "Air itu
suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya
dengan suatu najis yang masuk di dalamnya."
( Diambil dari kitab
bulughul maram )
وَعَنْ أَبِي
أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا
مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ
وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Artinya :
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada
sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah
bau, rasa atau warnanya." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah
oleh Ibnu Hatim. ( Diambil dari kitab
bulughul maram )
Kedua : Air thahur ( suci ) yang sedikit. Air tersebut
dapat ternajisi hanya dengan
terkenanya sesuatu yang najis, baik salah satu
dari sifatnya berubah ataupun
tidak.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي
لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Artinya :
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah
mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz
hadits: "Tidak najis". Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih
oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban. ( Diambil dari kitab bulughul maram )
HUKUM AIR SUCI (THAHIR ) DAN AIR NAJIS
Hukum air suci ( thahir ), bahwa air tersebut
tidak sah dipakai dalam hal ibadah. Oleh
karena itu berwudhu’ , mandi junub dan bentuk ibadah lainnya tidak sah dengan
menggunakan air itu, sebagaimana juga tidak sah dipakai untuk menghilangkan
najis dari badan, pakaian atau tempat. Air itu tidak dapat menghilangkan hadats
dan tidak pula menghilangkan kotoran ( khubts ).
Sedangkan
hokum air najis, bahwa ia tidak boleh dipakai dalam
ibadahdan tidak pula dalam hal biasa. Sebagaimana ia tidak sah dipakai untuk
berwudhu’ dan mandi, ia juga tidak boleh dipakai memasa, mengadon dan
sebagainya. Apabila ia dipakai dalam salah satu dari itu, maka air tersebut
akan menajiskannya. Oleh karena itu, menggunakan air najis itu adalah haram sebagaimana
haramnya khamar najis yang tidak boleh dipakai untuk sesuatu apapun, kecuali dalam keadaan darurat yang
memaksa. Seperti apabila ada seseorang yang tersesat ditengah padang pasir, dan
hidupnya itu tergantung kepada air yang najis itu, maka dalam keadaan semacam
itu boleh baginya minum air tersebut. Begitu pula apabila ada seseorang yang
makan, kemudian makanan itu terhenti di kerongkongannya dan ia keselak, maka
baginya boleh menghilangkan hal tersebut dengan air najis atau dengan khamar
apabila tidak mendapatkan air suci.
Memang, air mutanajjis tidak dibolehkan untuk dimanfaatkan, kecuali dalam
beberapa hal, seperti :
1. Dipakai
untuk memadamkan api, seperti api yang terdapat didapur tempat membakar roti dan semacamnya.
2. Dipakai
untuk minuman binatang dan menyiram tanaman.
20. Bangkai hewan yang tidak mengalir
darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan
air lorong – lorong yang memercik sedikit yang sulit dihindarkan.
air lorong – lorong yang memercik sedikit yang sulit dihindarkan.
21. Bekas tato, seperti darah yang keluar
dari anggota badan dan di atasnya diberi nila ( zat pewarna ) dan yang
semacamnya sehingga menjadi hijau dan biru. Yang dimaksud tato adalah tusukan
jarum atau lainnya pada kulit sehingga mengeluarkan darah. Maka bekasnya yang
berwarna hijau atau biru yang terdapat pada tempat itu dimaafkan, yaitu apabila
hal itu dilakukan karena ada hajat dimana selain cara itu tidak ampuh, atau
ketika ditato belum mukallaf, atau telah mukallaf akan tetapi tidak mampu
menghilangkannya kecuali dengan sesuatu cara yang dapat membahayakan yang membolehkannya
bertayammum dengan sebab tersebut.
22. Diantaranya juga darah, dengan rincian
sebagai berikut :
Pertama : Darah
sedikit yang tidak dapat dilihat dengan ukuran penglihatan yang
normal,
maka darah tersebutdimaafkan, walaupun darah itu berasal dari jenis
darah yang najis Mughalladzah,
seperti anjing dan babi.
Kedua
: Darah
yang dapat dilihat dengan penglihatan normal.Bila darah itu berasal
dari darah anjing dan babi, maka hal itu sama sekali tidak dapat dimaafkan.
Dan jika bukan dari darah kedua jenis binatang itu, seperti darah orang lain
atau darah dirinya sendiri, maka bila ia darah orang lain berarti sedikitnya itu
dari darah anjing dan babi, maka hal itu sama sekali tidak dapat dimaafkan.
Dan jika bukan dari darah kedua jenis binatang itu, seperti darah orang lain
atau darah dirinya sendiri, maka bila ia darah orang lain berarti sedikitnya itu
dimaafkan, selama ia tidak bercampur
dengan darahnya sendiri atau darah
lainnya, selain karena adanya
suatu darurat.
Ini berlaku untuk selain darah kutu
dan yang semacamnya dari jenis binatang yang tidak mempunyai darah mengalir.
Sedangkan darah kutu dan yang semacamnya, maka banyaknya pun dapat
dimaafkan dengan 3 syarat :
a.
Bukan
disebabkan karena perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain, sekalipun
ia belum mukallaf, atas persetujuannya. Jika tidak, maka ia hanya dapat dimaafkan
sedikitnya saja.
ia belum mukallaf, atas persetujuannya. Jika tidak, maka ia hanya dapat dimaafkan
sedikitnya saja.
b. Tidak
bercampur dengan darah kutu orang lain yang mana hal itu tidak sulit untuk
dihindari. Jika tidak maka ia hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja.
dihindari. Jika tidak maka ia hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja.
c. Darah
tersebut mengena pada pakaian yang digunakannya sendiri sekalipun ia
dipakai hanya sekedar untuk mempercanti diri ( berhias ).
dipakai hanya sekedar untuk mempercanti diri ( berhias ).
Sedang apabila itu darahnya sendiri,
maka bila darah tersebut keluar dari lubang yang asli, seperti dari hidung, telinga dan
mata, maka menurut pendapat yang mu’tamad (dipercaya) dapat dimaafkan sedikitnya saja.
Jika darah itu keluar bukan dari lubang yang ada, seperti darah jerawat, darah
bisul, dan darah bekam ( yaitu dengan cara mengiris urat darah atau dengan cara
memantik dengan mangkok ), maka
banyaknya dapat dimaafkan dengan syarat
:
1.
Bukan
disebabkan perbuatannya sendiri, misalnya dengan memencet bisulnya itu. Jika
demikian, maka hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja, Kecuali darah bekam dengan
kedua cara tadi. Keduanya itu dapat dimaafkan sekalipun banyak, walaupun keluar
karena perbuatannya sendiri.
demikian, maka hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja, Kecuali darah bekam dengan
kedua cara tadi. Keduanya itu dapat dimaafkan sekalipun banyak, walaupun keluar
karena perbuatannya sendiri.
2.
Darah
itu tidak sampai melewati batas tempatnya.
3.
Darah
itu tidak bercampur dengan lainnya, seperti air, kecuali dalam keadaan darurat.
Dan pemaafan hanya berada pada hak orang yang bersangkutan itu sendiri. Sedangkan apabila ada orang yang terkena
olehnya atau orang tersebut memegang sesuatu yang berhubungan dengan darah itu,
maka najis darah tersebut tidak dimaafkan.
Posting Komentar