ISTINJA’
PENGERTIAN
Istinja’ berarti menghilangkan sesuatu yang
keluar dari salah satu dua jalan (qubul dan
dubur), yaitu dari tempat keluarnya, baik dengan menggunakan air
ataupun batu dan yang semacamnya. Istinja’ diistilahkan juga dengan Istithbah (
menjadikan sesuatu itu baik ). Istinja’ disebut dengan istithbah, karena dengan
menghilangkan kotoran ( khubts ) jiwa bisa menjadi baikdan tenang.
HUKUM
BERISTINJA’
Diwajibkan ber istinja’ dari segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur yang
najis, seperti darah,air wadi dan air madzi. Dan ia harus menghilangkan sesuatu
yang keluar itu terlebih dahulu sebelum ber istinja’ ; jika tidak maka istinja’ nya batal.
ADAB
BUANG AIR
Telah kita ketahui bahwa syar’I telah
menjadikan bebrapa hokum dalam hal buang air,
Seperti kencing dan semacamnya. Diantara
hukum – hukum itu adalah yang khusus
mengenai menghilangkan kotoran ( yang disebabkan karena buang air ) yang
disebut dengan Istinja’ bila menggunakan
air dan disebut dengan Istijmar, bila
menggunakan selain air seperti batu dan yang semacamnya.
Berikut
ini adalah penjelasan tentang hukum – hukum yang berkaitan dengan buang air (
berhajat ), baik yang wajib, haram, sunnat, maupun yang makruh secara berurutan
:
Pertama : Yang
wajib dilakukan ketika instinja’ adalah ber-istibra’
yaitu menghabiskan semua yang
tersisa ditempat keluarnya kotoran, seperti kencing dan tahi sehingga diduga
kuat tidak ada sisa sesuatu apapun ( dari kotoran itu ) pada tempat tersebut.
Diantara kebiasan sebagian orang, bahwa air kencingnya itu keluar setelah ia
berjalan atau bediri, atau setelah ia bergerak – gerak yang biasa ia lakukan,
maka orang yang akan ber-istinja’
hendaknya ber- istibra’ sehingga ia
tidak boleh berwudhu disaat masih ragu – ragu akan habisnya air kencing itu.
Maka apabila ia berwudhu dalam keadaan yang seperti itu, kemudian darinya jatuh
setetes air kencing, maka wudhunya itu tidaklah berguna. Oleh karenanya ia
wajib mengeluarkan apa – apa yang mungkin masih ada sehingga ia yakin bahwa
pada tempat itu tidak ada suatu sisa kotoran apapun.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اِسْتَنْزِهُوا
مِنْ اَلْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ
Artinya :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sucikanlah dirimu dari air
kencing karena kebanyakan siksa kubur itu berasal darinya." Riwayat
Daruquthni. ( Diambil dari kitab bulughul
maram )
َوَلِلْحَاكِمِ: (
أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ اَلْبَوْلِ ) وَهُوَ صَحِيحُ
اَلْإِسْنَاد
|
|
Artinya :
Menurut riwayat Hakim: "Kebanyakan siksa kubur itu disebabkan
(tidak membasuh) air kencing." Hadits ini sanadnya shahih. ( Diambil dari kitab bulughul maram )
Kedua : Tempat
yang haram dipakai untuk buang air ( berhajat ). Buang air diatas kuburan
hukumnya haram. Sebab diharamkannya jelas karena kuburan merupakan tempat kita
mengambil pelajaran dan I’tibar, maka termasuk adab dan akhlak yang buruk bila
seseorang membuka pakaian penutup auratnya dikuburan dan mengotorinya dengan
kotoran yang keluar darinya. Menurut riwayat yang shahih dari nabi Muhammad
SAW, bahwa beliau menganjurkan untuk ziarah kubur agar dapat mengingat akhirat.
Oleh karena itu, sungguh sangat bodoh bila orang menjadikan tempat yang dapat
dikunjungi untuk menambah ingat pada akhirat dan mengambil I’tibar itu itu
sebagai tempat kencing dan berak. Oleh sebab itulah Buang air diatas kuburan
itu dilarang.
Ketiga : Tidak boleh kencing / berak diair yang tergenang.
Yang dimaksud dengan air tergenang adalah air yang tidak mengalir. Larangan
berak disamakan dengan kencing, karena berak lebih kotor, oleh karena itu maka
larangannya tentu lebih keras. Hukum Piqh ini termasuk hukum terbaik yang
diakui oleh ilmu pengetahuan dan diakui oleh akal yang sehat, karena mengotori
air yang biasanya disediakan untuk dimanfaatkan adalah termasuk perbuatan yang
paling buruk dan tercela.
Keempat : Buang
air besar / kecil ditempat sumber
air minum, ditempat lalu lintasnya manusia dan ditempat mereka bernaung
hukumnya haram.
َوَعَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
( مَنْ أَتَى اَلْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُد
|
|
Artinya :
Dari
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa yang hendak buang air hendaklah ia membuat penutup."
Riwayat Abu Dawud.
( Diambil dari kitab bulughul maram )
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم
( اِتَّقُوا اَللَّاعِنِينَ: اَلَّذِي
يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ اَلنَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ ) رَوَاهُ
مُسْلِم
Artinya :
Dari Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Jauhkanlah dirimu dari dua perbuatan terkutuk yaitu suka buang
air di jalan umum atau suka buang air di tempat orang berteduh." Riwayat
Imam Muslim
( Diambil dari kitab bulughul maram )
َزَادَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مُعَاذٍ ( وَالْمَوَارِدَ )
Artinya :
Abu Dawud menambahkan dari Muadz r.a:
"Dan tempat-tempat sumber air." Lafadznya ialah: "Jauhkanlah
dirimu dari tiga perbuatan terkutuk yaitu buang air besar di tempat-tempat
sumber air di tengah jalan raya dan di tempat perteduhan." ( Diambil dari kitab bulughul maram )
وَلِأَحْمَدَ; عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: ( أَوْ نَقْعِ مَاءٍ )
وَفِيهِمَا ضَعْف
Artinya :
Dalam
riwayat Ahmad Ibnu Abbas r.a: "Atau di tempat menggenangnya air."
Dalam kedua hadits di atas ada kelemahan. ( Diambil
dari kitab bulughul maram )
Kelima : Ketika buang air besar atau kecil diharamkan
menghadap kiblat atau membelakanginya. Artinya bahwa orang tersebut adalah
berdosa apabila menghadap kiblat disaat ia kencing atau berak ; atau ia
membelakanginya dan menghadap kearah yang berlawanan dengan kiblat, dengan
syarat hal itu di tempat terbuka. Sedangkan
apabila ia buang air didalam bangunan tertutup seperti jamban WC dan yang
semacamnya, maka itu tidak haram.
َوَعَنْ سَلْمَانَ رضي الله عنه قَالَ: ( لَقَدْ نَهَانَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم "أَنْ نَسْتَقْبِلَ اَلْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ
نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ
أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ" )
رَوَاهُ مُسْلِم
Artinya :
Salman
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
benar-benar telah melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar atau
kecil atau ber-istinja' (membersihkan kotoran) dengan tangan kanan atau
beristinja' dengan batu kurang dari tiga biji atau beristinja' dengan kotoran
hewan atau dengan tulang. Hadits riwayat Muslim.
( Diambil dari kitab
bulughul maram )
َوَلِلسَّبْعَةِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أَيُّوبَ رضي الله عنه ( لَا
تَسْتَقْبِلُوا اَلْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ
غَرِّبُوا )
Artinya :
Hadits
menurut Imam Tujuh dari Abu Ayyub Al-Anshari Radliyallaahu 'anhu berbunyi:
"Janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya akan tetapi menghadaplah
ke arah timur atau barat." ( Diambil
dari kitab bulughul maram )
Apabila ia telah buang
air besar / kecil dan hendak ber – istinja’
dan ber – istijmar’ (
membersihkan kotoran menggunakan batu ) maka menghadap kiblat tidaklah dilarang
secara mutlak. Akan tetapi larangan itu hanyalah terbatas pada buang air (
berhajat ).
Keenam
: Dimakruhkan bagi orang yang buang air untuk menghadap
ketempat berhembusnya angin. Ia tidak boleh duduk kencing menghadap kearah
tempat berhembusnya angin agar percikan air kencing itu tidak kembali padanya
sehingga menajiskannya.
Ketujuh
: Dimakruhkan bagi yang buang air besar / kecil untuk
berbicara, yakni ia berhajat dan ketika itu ia mengumbar bicara, tidak lagi
memperhatikan sesuatu yang mungkin dilakukan pada saat itu misalnya menyebut
nama Alloh, nama Rasul – NYA, Ayat – ayat Alloh dan sebagainya. Akan tetapi bila ada sesuatu yang benar
– benar perlu untuk dibicarakan maka tidak makruh, misalnya apabila ia minta
sekendi air atau secarik kain untuk membersihkan atau mengeringkan najis dan
bila berbicara itu menjadi suatu keharusan, seperti disaat hendak menyelamatkan
seorang anak kecil atau seorang yang buta dari bahaya atau untuk menjaga harta
dari kerusakan, kebinasaan dan sebagainya.
َوَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( إِذَا تَغَوَّطَ اَلرَّجُلَانِ
فَلْيَتَوَارَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صَاحِبِهِ وَلَا يَتَحَدَّثَا.
فَإِنَّ اَللَّهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ ) رَوَاهُ . وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
اَلسَّكَنِ وَابْنُ اَلْقَطَّانِ وَهُوَ مَعْلُول
|
|
Artinya ;
Dari
Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Apabila dua orang buang air besar maka hendaknya masing-masing
bersembunyi dan tidak saling berbicara sebab Allah mengutuk perbuatan yang
sedemikian." Diriwayatkan oleh Ahmad hadits shahih menurut Ibnus Sakan dan
Ibnul Qathan. Hadits ini ma'lul.
( Diambil dari kitab bulughul maram )
Kedelapan
: Dimakruhkan
menghadap matahari dan bulan, karena ia termasuk sebagian dari ayat – ayat
Alloh dan Nikmat – NYA yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh alam. Sedangkan diantara aturan syari’at islam
adalah menghormati dan memulyakan nikmat – nikmat Alloh SWT.
Kesembilan : Disunnatkan ber – istinja’ dengan tangan kiri, karena tangan kanan biasanya digunakan
untuk menyantap makanan dan yang semacamnya : sebagaimana juga disunnatkan juga
membasahi jari – jari tangan kiri sebelum menyentuh kotoran ( tahi ) agar
kotoran najis itu tidak terlalu melekat pada tangan. Begitu pula disunnatkan
membasuh tangan kiri setelah selesai berhajat dengan menggunakan sesuatu yang
dapat membersihkan dan disunnatkan juga untuk sedikit berlembut – lembut (pelan
– pelan) disaat ber – istinja’ agar
dapat menghilangkan najis yang ada padanya.
SYARAT SAHNYA ISTINJA’ DAN ISTIJMAR DENGAN AIR, BATU DAN
LAINNYA.
Air
yang sah dipakai untuk istinja’ mempunya 2 Syarat :
Pertama
: Air tersebut suci dan mensucikan. Maka tidak sah
beristinja’ dengan air yang suci saja sebagaimana ia juga tidak sah dipakai
untuk menghilangkan najis.
Kedua : Air tersebut dapat
menghilangkan najis. Bila ia mempunyai air sedikit yang tidak dapat
menghilangkan najis dari tempatnya sehingga tempat tersebut dapat kembali
sebagaimana sebelum najisnya, maka air tersebut - dalam hal ini tidak dapat
digunakan. Adapun batu atau semacamnya yang dapat menggantikan air, walaupun
pada saat itu terdapat air. Akan tetapi yang lebih afdhal ( utama ) adalah
menggunakan air ; dan yang lebih utama lagi adalah menggabungkan antara air dan
batu.
Sesuatu yang digunakan untuk istijmar
itu disyaratkan hendaknya :
1. Benda
tersebut padat dan suci. Mka tidak sah ber – istijmar dengan menggunakan benda yang mutanajjis.
2. Benda
tersebut dapat melucuti najis. Maka tidaklah sah dengan menggunakan sesuatu
yang tidak dapat melucuti najis itu, seperti benda licin dan benda lunak.
3. Benda
tersebut tidak basah. Jika benda itu basah selain karena terkena keringat, maka
hal itu tidak sah.
4. Benda
tersebut dipandang tidak berharga menurut syara’. Maka tidak sah beristijmar
dengan menggunakan sesuatu yang berharga, seperti roti dan tulang. Yang
termasuk sesuatu yang berharga menurut syara’ adalah sesuatu yang bertuliskan
ilmu syari’at, seperti fiqh dan hadits, atau alat wasilahnya, seperti nahwu,
sharaf, ilmu hitung, ilmu kedokteran dan ilmu ‘arudh. Sedangkan apabila yang
tertulis itu bukan seperti apa yang telah disebutkan diatas, maka benda
tersebut bukanlah termasuk yang berharga, bila didalamnya itu tidak terdapat
tulisan Al – qur’an dan sesuatu yang berharga lainnya.
Diantara benda berharga lainnya adalah sesuatu
yang didalamnya bertuliskan nama yang diagungkan. Yang dimaksud dengan nama
yang diagungkan adalah seperti Abu Bakar, Umar dan sebagainya. Diantara yang
berharga lainnya juga adalah masjid, maka tidak boleh ber – istijmar dengan
menggunakan salah satu bagian daripada masjid. seperti batunya dan kayunya.
Walaupun batu dan kayu itu telah terpisah dari masjid tersebut selama ia masih
disandarkan padanya.
Adapun untuk kotoran yang keluar disyaratkan
hendaknya :
1. Ia
tidak kering, karena najis yang kering itu dapat dihilangkan dengan menggunakan
batu dan yang semacamnya.
2. Tidak
terkena najis yang lain atau sesuatu yang suci lainnya selain air keringat.
3. Tidak
melebihi batas shafhah (untuk kotoran tahi) dan tidak melebihi batas hasyafah
(untuk kotoran kencing).
Yang dimaksud shafhah adalah bagian daging tebal dari kedua belah pantat yang
menyatu rapat ketika berdiri. Sedangkan Hasyafah adalah bagian dzakar yang
terdapat diatas tempat khitan (kepala dzakar).
Ini berlaku apabila yang beristijmar itu
seorang laki – laki. Sedangkan apabila yang ber – istijmar seorang wanita, maka
syarat sahnya mengusap dengan batu dan yang semacamnya adalah hendaknya kotoran
itu tidak melebihi daerah yang tampak disaat duduk, bila wanita itu masih
gadis. Dan hendaknya tidak sampai pada daerah setelah itu dibagian dalamnya
bila seorang yang sudah kawin. Jika tidak, maka bagi kedua wanita tersebut
ditentukan dengan menggunakan air, sebagaimana air itu juga ditentukan bagi
orang yang masih kulup, bila air kencingnya itu sampai mengena kulitnya.
Didalam mengusap (menggosok) dengan batu dan
sebagainya disyaratkan tidak kurang dari tiga kali usapan yang setiap kalinya
dapat merata keseluruh tempat, walaupun dengan menggunakan ketiga sisi yang
terdapat pada satu batu. Maka tidaklah cukup bila kurang dari tiga kali
sekalipun dapat membersihkan tempat tersebut. Apabila dengan tiga kali masih
belum juga bersih, maka hendaknya ditambah lagi sehingga dengan tambahan itu
menjadi bersih dimana najis itu tidak lagi tersisa kecuali bekasnya yang tidak
dapat dihilangkan kecuali dengan menggunakan air, atau tembikar kecil.
Posting Komentar